KARAKTERISTIK ANAK TUNAAKSA
ANAK TUNADAKSA
Istilah tunadaksa merupakan istilah lain
dari cacat tubuh/tunafisik, yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh yang
mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang
dibutuhkan. Anda akan segera mengenal apabila melihat atau bertemu dengan anak
tunadaksa. Agar pemahaman Anda lebih mendalam akan dikemukakan mengenai pengertian,
klasifikasi, dan karakteristik anak tersebut.
1.
Pengertian Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh,
cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna
yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh“. Tunadaksa
adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat
tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota
tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan
dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai
arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian,
cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau
dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur
sistem otot, tulang dan persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk
kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat
mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan
gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak
tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani
yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa
maksudnya sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh,
tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically
handicapped (Depdikbud, 1986:6). Selanjutnya, Samuel A Kirk (1986) yang
dialihbahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991: 3) mengemukakan
bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan
mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari,
sekolah atau rumah. Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu tetapi
ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak
yang minum obat untuk mengendalikan gangguan kesehatannya maka anak-anak jenis
itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak
mampu memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap penyakit kronis) sering
kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara rutin maka anak itu termasuk
penyandang gangguan fisik (tunadaksa).
2.
Klasifikasi Anak Tunadaksa
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu
adanya sistem penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa
bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang
terdiri dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2)
kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada
sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral
palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh,
gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris
yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan
otak. Soeharso (1982) mendefinisikan cacat cerebral palsy sebagai suatu
cacat yang terdapat pada fungsi otot dan urat saraf dan penyebabnya terletak
dalam otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada pancaindra, ingatan, dan
psikologis (perasaan).
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan
menjadi (1) ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat
bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri; (2) sedang, dengan
ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus
diri, dan alat-alat khusus, seperti brace; dan (3) berat, dengan
ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan
menolong diri.
Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya
cerebral palsy dibedakan atas: (1) spastik, dengan ciri seperti terdapat
kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya; (2) dyskenisia, yang
meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol),
rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan); tremor
(getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala); (3) Ataxia
(adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan
tidak berfungsi; serta (4) jenis campuran (seorang anak mempunyai
kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
Golongan anak tunadaksa berikut ini tidak mustahil akan belajar
bersama dengan anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Penggolongan
anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Poliomyelitis
Ini merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang
disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat
dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi:
a. tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau
kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki;
b. tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi
motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan
pernapasan; dan
c. tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara
tipe spinal dam bulbair;
d. encephalitis yang biasanya disertai
dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan
pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan
atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil
(atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur),
pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi,
seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke
luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut
melenting ke belakang (genu recorvatum).
2. Muscle Dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot
tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan
simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang
belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan
tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi
jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus,
yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya
kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan (Black, 1975).
3.
Karakteristik
Anak Tunadaksa
Karakteristik
anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah berikut ini.
a. Karakteristik
Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami
kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti
pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami
kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari
tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan
bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental
(tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan di atas normal.
Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel
(1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung
antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral
palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga
mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi
karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga
proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke
otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan
menafsirkan, serta menganalisis) mengalamigangguan. Kemampuan kognisi terbatas
karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan,
penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus
menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan
pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa
yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi
prestasi akademiknya.
b. Karakteristik
Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep
diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang
lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai
lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan
disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan
jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan
timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri,
kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti
itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh
sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
c. Karakteristik
Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti
sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan
lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem
cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku
atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan
artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan
diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya
ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui
indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral
palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal
yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak
heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat
dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik,
intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau
diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan
kurang merespons rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti
waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak
yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.
4.
Tujuan Pendidikan
Anak Tunadaksa
Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta
dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan
lanjutan. Connor (1975) dalam Musyafak Asyari (1995) mengemukakan bahwa
dalam pendidikan anak tunadaksa perlu dikembangkan 7 aspek yang diadaptasikan
sebagai berikut.
a. Pengembangan
Intelektual dan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah
melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D)
tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal
yang lebih penting adalah pemberian kesempatan dan perhatian khusus pada anak
tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.
b. Membantu
Perkembangan Fisik
Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik maka dalam
proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan
fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam
belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat
mengatasi gangguan tersebut sehingga anak memperoleh kemudahan dalam mengikuti
pendidikan. Guru harus membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah
dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
c. Meningkatkan
Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog
harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat
menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah
yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
d. Mematangkan Aspek
Sosial
Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya
perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut
serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama
dengan kelompoknya.
e. Mematangkan Moral
dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang
nilai-nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral
dan spiritualnya.
f.
Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan
kesenian, keterampilan atau kerajinan.
g. Mempersiapkan Masa
Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk
menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali mereka dengan
latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang dapat dijadikan bekal
hidupnya.
Ketujuh
sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda),
yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam
pendidikannya. Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan
pribadi anak tunadaksa.
KARAKTERISTIK ANAK TUNAAKSA
Reviewed by PJOK SDN KRUBUNGAN
on
November 10, 2015
Rating:
Post a Comment